Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi
1. Pengertian
Dalam pandangan masyarakat umum, pengertian collaborative learning
(CBL) sering disamakan dengan cooperative learning (CPL). Definisi
pembelajaran kooperatif digambarkan sebagai suatu “tatanan” dalam proses
bermasyarakat yang saling membantu dan saling berhubungan dalam rangka memenuhi
mencapai suatu tujuan. CPL lebih direktif dibanding sistem CBL. CPL lebih
dikendalikan oleh pembelajar, sedangkan CBL oleh pebelajar. Dalam CPL banyak
mekanisme analisis tim dan introspeksi berpusat pada pembelajar sedangkan dalam
CBL lebih berpusat pada pebelajar (Panitz,1996). Kagan (1990) mendefinisikan
CPL sebagai suatu pendekatan struktural yang berdasarkan pada penciptaan,
analisis dan aplikasi struktur yang sistematis, atau mengorganisir interaksi
sosial di dalam kelas . Struktur pada umumnya melibatkan satu rangkaian
langkah-langkah. Kata kunci penting pendekatan ini adalah pembedaan antara
" struktur" dan " aktivitas".
Dalam CBL, pembelajar memindahkan semua otoritas kepada tim, sementara
CPL tidak melakukan hal seperti ini. Kerja kolaboratif sungguh-sungguh
memberikan kuasa kepada pebelajar dan harus berani mengambil semua resiko
seseuai yang telah disepakati. Sebagai contoh, hasil kerja tim atau individu
kurang disetujui, atau dalam suatu posisi yang tak meyakinkan, atau terlalu
sederhana, atau menghasilkan suatu solusi tidak sesuai dengan milik pembelajar.
Hal ini didasarkan pada suatu pandangan yang menyatakan bahwa tiap-tiap orang
memiliki pegangan, kontribusi kosa kata interpretative, sejarah, nilai-nilai,
konvensi dan minat. Pembelajar mungkin “tidak memiliki persepsi yang sama”
dengan pebelajar, sehingga ia tidak bisa membantu para pebelajar belajar untuk
merundingkan batasan-batasan pengetahuan yang telah dimiliki masyakarat,
meskipun mungkin secara akademis menguasai. Tiap-tiap pengetahuan masyarakat
mempunyai suatu inti pengetahuan bahwa dirinya adalah anggota masyakarat yang
perlu mendapatkan peran (tetapi tidak harus absolut). Untuk berfungsi dengan
bebas di dalam suatu masyarakat, pebelajar harus menguasai bahan cukup untuk
menjadi lebih mengenal masyarakat.
2. Karakteristik
Myers (1991) memandang collaborative learning sebagai
pembelajaran yang berorientasi "transaksi" ditinjau dari sisi
metodologi. Orientasi itu memandang pembelajaran sebagai dialogue
antara pebelajar dengan pebelajar, pebelajar dengan pembelajar, pebelajar
dengan masyarakat dan lingkungannya. Para pebelajar dipandang sebagai pemecah
masalah. Perspektif ini memandang mengajar sebagai " percakapan" di
mana para pembelajar dan para pebelajar belajar bersama-sama melalui suatu
proses negosiasi. Proses negosiasi dalam pola belajar kolaborasi memiliki 6
karakteristik, yakni (1) tim berbagi tugas untuk mencapai tujuan pembelajaran,
(2) diantara anggota tim saling memberi masukan untuk lebih memahami masalah
yang dihadapi, (3) para anggota tim saling menanyakan untuk lebih mengerti
secara mendalam, (4) tiap anggota tim menguasakan kepada anggota lain untuk
berbicara dan memberi masukan, (5) kerja tim dipertanggungjawabkan ke (orang)
yang lain, dan dipertanggung-jawabkan kepada dirinya sendiri, dan (6) diantara
anggota tim ada saling ketergantungan
Ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan dalam pola belajar
kolaboratif, yakni peran pebelajar dan peran pembelajar (Panitz,1996). Peran
pebelajar yang harus dikembangkan adalah (1) mengarahkan, yaitu menyusun
rencana yang akan dilaksanakan dan mengajukan alternatif pemecahan masalah yang
dihadapi, (2) menerangkan, yaitu memberikan penjelasan atau
kesimpulan-kesimpulan pada anggota kelompok yang lain, (3) bertanya, yaitu
mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan informasi yang ingin
diketahui, (4) mengkritik, yaitu mengajukan sanggahan dan mempertanyakan alasan
dari usulan/ pendapat/pernyataan yang diajukan, (5) merangkum, yaitu membuat
kesimpulan dari hasil diskusi atau penjelasan yang diberikan, (6) mencatat,
yaitu membuat catatan tentang segala sesuatu yang terjadi dan diperoleh
kelompok, dan (7) penengah, yaitu meredakan konflik dan mencoba meminimalkan
ketegangan yang terjadi antara anggota kelompok.
Dalam kerja kolaboratif, pebelajar berbagi tanggung-jawab yang
digambarkan dan yang disetujui oleh tiap anggota. Persetujuan itu meliputi (1)
kesanggupan untuk menghadiri, kesiapan dan tepat waktu untuk memenuhi kerja
tim, (2) diskusi dan perselisihan paham memusatkan pada masalah yang dipecahkan
dengan menghindarkan kritik pribadi, dan (3) ada tanggung jawab tugas dan
menyelesaikannya tepat waktu. Pebelajar boleh melaksanakan tugas, sesuai dengan
pengalaman mereka sendiri meskipun sedikit pengalaman dibanding anggota lainnya
yang penting dapat berpikir jernih/baik sesuai dengan kapabilitasnya.
Peran-peran yang harus dihindari oleh pebelajar adalah (1) free-rider,
yaitu membiarkan teman-temannya melakukan tugas tim, tanpa berusaha ikut serta
memberikan kontribusi dalam proses kolaborasi, (2) sucker, yaitu
tidak ikut serta memberikan kontribusinya karena tidak bersedia membagi
pengetahuan yang dimilikinya, (3) mendominasi, yaitu menguasai jalannya
proses penyelesaian tugas, sehingga kontribusi anggotatim yang lain tidak
optimal, (4) ganging up on task, yaitu cenderung menghindari tugas dan
hanya menunjukkan sedikit usaha untuk menyelesaikannya
Dalam pembelajaran kolaborasi, pembelajar tidak lagi memberikan ceramah
di depan kelas, tapi dapat berperan seperti (1) fasilitator, dengan menyediakan
sarana yang memperlancar proses belajar; mengatur lingkungan fisik, memberikan
atau menunjukkan sumber-sumber informasi, menciptakan iklim kondusif yang dapat
mendorong pebelajar memiliki sikap dan tingkah laku tertentu, dan merancang
tugas; (2) model, secara aktif berupaya menjadi contoh
dalam melakukan kegiatan belajar efektif, seperti mencontohkan penggunaan
strategi belajar atau cara mengungkapkan pemikiran secara verbal (think
aloud) yang dapat membantu proses konstruksi pengetahuan; (3)
pelatih (coach), memberikan petunjuk, umpan balik, dan pengarahan
terhadap upaya belajar pebelajar. Pebelajar tetap mencoba memecahkan masalahnya
sebelum memperoleh masukan pengajar.
3. Peranan dan Pentingnya Tim dalam Pembelajaran Kolaborasii
McCahon & Lavelle, (1998) menyarankan agar dalam collaborative
learning, kelas dibagi ke dalam beberapa tim dan tiap tim ditugasi
untuk melakukan riset sederhana, kemudian dievaluasi dan didiskusikan kembali
di dalam kelas. Tim yang dimaksud adalah: “a group of two to five students who are tied
together by a common purpose to complete a task and to include every group
member” (Dishon dan O’Leary, 1994). Dalam konteks ini, Benne and
Seats (1991) menegaskan bahwa premis mayor dalam suatu tim adalah bahwa setiap
orang dalam tim tersebut harus berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif dan
produktif untuk menuju tercapainya hasil yang diinginkan. Dengan sangat
menekankan pentingnya kohesivitas, Duin, Jorn, DeBower, dan Johnson (1994)
mendefinisikan “collaboration” sebagai suatu proses di
mana dua orang atau lebih merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi
kegiatan bersama.
Konsep “tim” dengan segala aspeknya ini harus benar-benar dipahami
oleh pebelajar. Kurangnya pemahaman tentang konsep ini dapat berakibat
kurangnya kesadaran akan pentingnya kerjasama, tidak dapat memprioritaskan tujuan
tim daripada tujuan individu, dan pada gilirannya dapat berakibat berbuat
kesalahan dalam menyelenggarakan pertemuan, mengabaikan batas waktu
penyelesaian pekerjaan tim, kurang penuh dalam bertanggungjawab, serta kurang
dapat bekerja secara efisien (Ravenscroft dan Buckless,1995).
Dalam pembentukan tim, jumlah anggota, sifat, dan kompleksitas pekerjaan
merupakan faktor kunci. Mengenai berapa orang sebaiknya jumlah anggota dalam
ternyata ada berbagai pendapat. Secara umum, para ahli merekomendasikan agar pembentukan
tim dalam kelas sebaiknya terdiri dari tiga sampai dengan lima orang (Howard,
1999). Namun, ia menegaskan bahwa untuk permulaan latihan pengembangan
keterampilan kolaborasi sebaiknya para pembelajar memperkenalkannya dengan
kelompok kecil lebih dulu, sekitar dua sampai tiga orang dalam satu kelompok.
Tujuan utamanya agar pebelajar familiar bekerja/belajar secara kolaborasi
dengan orang lain. Untuk kegiatan semacam riset/investigasi yang
ditindaklanjuti dengan pembuatan laporan dan menyajikannya di kelas, Howard
(1999) menyarankan sebaiknya tim terdiri dari tiga sampai dengan lima orang
agar dapat bekerja secara efektif. Ia juga menyarankan jumlah anggota sebaiknya
gasal, jangan genap agar kalau suatu saat terjadi konflik dapat diatasi dengan
voting dalam penyelesaiannya.
Selain jumlah pebelajar yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan
suatu tim, Bowen (1998) mengingatkan bahwa keragaman latar belakang pebelajar
juga perlu diperhatikan dan latar belakang mana yang akan lebih diberikan
tekanan. Misalnya, kualitas perspektif pebelajar dalam memandang berbagai
persoalan, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Namun, Bowen (1998)
menekankan bahwa tujuan kegiatan merupakan faktor utama untuk mempertimbangkan
pembentukan tim. Untuk kegiatan jangka pendek, seperti kegiatan di kelas bagi
pebelajar yang tujuan utamanya adalah latihan bekerja secara kolaboratif dalam
tim, pemilihan anggota tim cukup dilakukan secara acak. Sebaliknya, jika tujuan
tim dimaksudkan untuk menelusuri kesempatan karir di berbagai instansi atau
perusahaan, maka pemilihan anggota tim akan lebih tepat didasarkan atas minat
karir yang sejenis.
Setiap tim harus memiliki seorang ketua untuk memimpin pertemuan atau
rapat, menjadi penghubung antara tim dengan pembelajar, dan melaksanakan
fungsi-fungsi kepemimpinan lainnya. Ketua tim juga harus bekerjasama dengan
pembelajar untuk menangani setiap masalah yang muncul dan memerlukan bantuan
pembelajar. Sangat boleh jadi suatu tim menghadapi suatu konflik atau masalah
yang tidak dapat diatasi sendiri oleh anggota timnya sehingga terpaksa harus
melibatkan pembelajar dalam memecahkannya. Namun demikian, menurut Bowen (1998)
penting untuk ditekankan bahwa apa sebenarnya inti konflik atau masalah yang
dihadapi, mengapa hal itu bisa terjadi, dan bagaimana mengatasinya, sebaiknya
didiskusikan oleh anggota tim lebih dahulu tanpa buru-buru mengundang campur
tangan pembelajar agar pebelajar terbiasa mengenali dengan cermat dan mampu
mengatasi secara efektif setiap masalah atau konflik yang dihadapi oleh timnya.
Bisa jadi anggota tim lupa terhadap detail pekerjaan penting yang harus
ditanganinya. Oleh sebab itu, akan sangat berguna jika pembelajar memberikannya
dalam bentuk tulisan semacam handout dalam membimbing pebelajar
melakukan kegiatan-kegiatan tim secara kolaboratif. Berikut
sejumlah strategi yang diajukan oleh Howard (1999) untuk membantu tim
memfokuskan pada tugas pokok yang harus dikerjakannya:
- Membagikan secara tertulis petunjuk pelaksanaan kegiatan yang dikerjakan oleh tim. Petunjuk itu dibuat detail agar pebelajar tidak mengalami kebingungan dalam melaksanakannya. Dengan cara demikian, pebelajar tidak hanya menyandarkan pada ingatan semata atau catatan-catatan yang dibuat tiap anggota tim.
- Membuat schedule untuk penyelesaian tugas sementara yang di dalamnya meliputi: tanggal penyelesaian kegiatan, kartu catatan, dan garis besar penyusunan laporan. Jika schedule telah disusun, misalnya untuk melaksanakan riset perpustakaan, melakukan berbagai keterampilan di kelas yang berbeda bersama pembelajar dari disiplin ilmu yang berbeda, atau melakukan pertemuan di tempat lain di luar kelas, semua itu harus dicantumkan di dalam schedule.
- Mendiskusikan dengan pebelajar dan memberikan fotokopi lembaran evaluasi yang dapat digunakan untuk menilai aspek-aspek kegiatan tim. Ini berguna untuk membantu pebelajar memahami bagaimana menyelesaikan kegiatannya dengan baik dan benar.
- Mengusahakan setiap anggota tim memiliki buku catatan kegiatan yang dibagi ke dalam bagian-bagian guna mengorganisasikan kegiatan yang harus diselesaikan. Lembaran tugas, petunjuk pelaksanaan kegiatan, dan schedule kegiatan harus dilekatkan di bagian depan buku catatan pebelajar
Pembagian tanggungjawab yang dilakukan oleh pembelajar secara kurang
bijaksana dapat mengurangi keberhasilan pola kerja kolaborasi. Seringkali orang
berpendapat bahwa pembagian kerja anggota tim sebaiknya didasarkan pada
penguasaan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Misalnya, suatu tim
yang beranggotakan tiga orang, di mana satu orang mahir dalam mengoperasikan
komputer, satu orang lagi memiliki kelebihan dalam melakukan riset, dan seorang
lagi memiliki kelebihan dalam menyusun laporan kegiatan. Kedengarannya memang
ideal jika pembagian tugas disesuaikan dengan penguasaan yang telah dimiliki
tiap anggota tim tersebut.
Menurut Davis dan Miller (1996), pembagian tugas semacam itu
sesungguhnya mengandung kelemahan serius karena pebelajar tidak terlatih
menguasai dan menyelesaikan pekerjaan dalam lingkup yang lebih luas yang
sebenarnya dituntut secara kompetitif manakala nanti sudah memasuki dunia
kerja. Akibatnya, pebelajar menyimpan kelemahan dan keterbatasan kesempatan
untuk memperoleh atau meningkatkan kompetensi lainnya yang juga penting. Atas
dasar itu, Davis dan Miller (1996) menyarankan bahwa untuk mencapai hasil
maksimal dalam bekerja secara kolaboratif seharusnya setiap anggota tim
menerima tanggungjawab tidak hanya pada tugas-tugas yang mereka sudah memiliki
keterampilan atau penguasaan, melainkan juga pada tugas-tugas yang belum mereka
kuasai sambil belajar dan meningkatkan keterampilannya selama menyelesaikan
kegiatan dengan anggota timnya.
Lingkungan dunia kerja modern memerlukan orang-orang yang mampu
menghargai pentingnya tanggungjawab, bukan saja dari tim secara keseluruhan
melainkan juga dari tiap-tiap personel dalam tim tersebut. Oleh sebab itu,
menjadi sangat penting penghargaan terhadap tanggungjawab tersebut untuk
dikembangkan secara maksimal kepada pebelajar sebagai persiapan sebelum
memasuki dunia kerja. Pengembangan tanggungjawab ini, menurut Bowen (1998),
dapat dirancang dan dikembangkan secara langsung oleh pembelajar atau melalui
kesepakatan tim atau bisa juga melalui konsensus antara pembelajar dengan
pebelajar. Hal terpenting adalah apapun bentuk proses yang ditempuh dalam
membangun tanggung jawab itu, para anggota tim harus memahami betul bahwa
mereka bertanggungjawab terhadap semua pertemuan yang diselenggarakan oleh tim,
memberikan sumbangan terhadap kegiatan diskusi dalam tim, dan menyelesaikan
tugas-tugas tim secara baik dan tepat waktu.
Jika seorang pebelajar terpaksa tidak dapat hadir dalam suatu pertemuan
tim, maka dia berkewajiban memberitahu ketua tim atau anggota tim lainnya
tentang penyebab ketidakhadirannya itu. Cara ini harus dibiasakan agar tetap
terjaga rasa tanggungjawab terhadap tim (Alexander & Stone,1997). Bahkan,
jika memungkinkan, meskipun seorang pebelajar tidak dapat hadir dalam pertemuan
tim, tetapi harus mengirimkan gagasan-gagasannya secara tertulis, laporan
tertulis, dan/atau tugas-tugas yang telah diselesaikannya sehingga dapat
dibahas dalam pertemuan tim. Setelah pertemuan tim selesai, pebelajar yang
tidak hadir tersebut juga harus mengontak lagi ketua tim atau anggota tim
lainnya untuk mendapatkan informasi tentang hasil diskusi selama pertemuan tim
atau barangkali ada kertas kerja atau tulisan yang dapat di (McCahon &
Lavelle, 1998).
4. Peranan dan Pentingnya Pencatatan Pembelajaran Kolaborasi
CBL sangat memberikan perhatian atas pentingnya pencatatan tugas-tugas
belajar dalam tim—umumnya dalam bentuk lembar tugas—dalam suatu format yang
disepakati. Dengan lembar tugas itu dapat membantu tim untuk tetap memfokuskan
pada upaya penyelesaian kegiatan-kegiatan secara benar, efisien, dan tepat
waktu. Lebih dari itu, kata Bowen (1998), proses pengisian format pencatatan
dapat mendorong pebelajar untuk mengembangkan dan meningkatkan keterampilan
organisasional mereka yang nantinya akan sangat berguna tidak hanya selama
menempuh studi melainkan juga setelah mereka memasuki dunia kerja,
kegiatan-kegiatan sosial, dan berbagai situasi lainnya.
Dalam konteks ini, Davis & Miller (1996) menyatakan bahwa pembelajar
menekankan pada tim untuk tetap bekerjasama dalam mengisi format pencatatan
itu, dan setiap anggota tim harus memegang satu fotokopi dari format pencatatan
yang telah selesai dikerjakan. Ketua tim secara cepat dan tepat menyampaikan
fotokopi dari format pencatatan yang telah dikerjakan itu kepada pembelajar
agar dapat digunakan untuk melakukan monitoring secara kontinyu
kegiatan-kegiatan tim dan sesegera mungkin memberikan umpan balik kepada tim
Berikut ini diuraiakn ebeberapa format pencatatan lembar tugas yang bisa
dipakai oleh tim CBL.
- Roster Komunikasi. Jika suatu tim sudah terbentuk, maka anggota tim itu harus senantiasa saling bertukar informasi sehingga memungkinkan mereka tetap saling berkomunikasi. Bagi anggota tim yang memiliki “e-mail” akan memudahkan untuk saling berkomunikasi secara cepat dan sekaligus hasil komunikasi tersebut terekam serta dapat dicetak. Untuk mendapatkan e-mail gratis, dapat diakses Yahoo dengan situs: http://www.yahoo.com dan di sana dapat dibuat e-mail tanpa harus membayar; misalnya: mustaji_2005@yahoo.com. Roster komunikasi ini akan sangat berguna jika anggota tim menemukan sesuatu yang penting, tetapi tidak memungkinkan untuk segera melakukan pertemuan atau anggota tim tersebut tidak dapat hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh tim. Dengan alat ini anggota tim tetap akan dapat melakukan komunikasi dengan anggota tim lainnya. Dengan cara demikian, setiap anggota tim tetap akan memelihara tanggungjawab terhadap kekohesifan timnya.
- Lembar Tugas. Setelah tim mendiskusikan kegiatan yang akan
dilakukan dan tugas yang akan menjadi tanggungjawab tiap anggota telah
ditentukan, maka pebelajar sebagai anggota tim membuat catatan-catatan
tertulis mengenai berbagai informasi bekenaan dengan tugas dan
tanggungjawabnya, termasuk di dalamnya batas waktu penyelesaian tugas yang
menjadi tanggungjawabnya. Lembar tugas, menurut Hart (1997), dapat
membantu pebelajar untuk (1) menghindarkan diri dari terjadinya duplikasi
yang tidak diinginkan (2) terjadinya pemborosan waktu yang dapat
disebabkan oleh adanya dua orang atau lebih anggota tim mengerjakan
pekerjaan yang sama karena adanya kebingungan tanggungjawab dan (3)
menghindarkan diri dari pengabaian tugas dan tanggungjawabnya.
Untuk mengoptimalkan penggunaan lembar tugas ini, umpan balik dari pembelajar sangat diperlukan. Jika pembelajar memberikan umpan balik yang tepat terhadap isi lembaran tugas ini dengan cara memeriksa kelengkapan dan kualitasnya yang kemudian dikomunikasikan kepada pebelajar, maka pembelajar akan dapat: (1) menentukan apakah tugas-tugas penting yang harus dikerjakan pebelajar sudah tercakup di dalamnya, (2) apakah tanggungjawab anggota tim telah didistribusikan secara adil, dan (3) apakah batas waktu yang ditentukan itu fisibel. Apabila ternyata perlu perubahan batas waktu dapat segera dilakukan dan diinformasikan kepada anggota tim. - Jadwal Pertemuan. Tugas penting yang juga harus dipersiapkan oleh anggota tim pada awal pelaksanaan kegiatan adalah menyusun jadwal pertemuan yang akan diselenggarakan di luar jam pembelajaran tatap muka guna mendiskusikan gagasan-gagasan anggota, bertukar informasi, penyesuaian rencana kerja, dan tugas-tugas penting lainnya dalam rangka penyelesaian kegiatan tim. Ada kemungkinan suatu tim menyusun schedul pertemuannya bersama-sama pembelajar di kelas ketika tidak ada pembelajaran, sedangkan tim lain mungkin lebih senang memilih menyusunnya di perpustakaan, di rumah salah seorang anggota tim, di asrama, atau di tempat lain yang lebih cocok. Dengan adanya format jadwal pertemuan ini akan sangat memudahkan tim untuk mencatat informasi penting serta penggunaannya.
- d. Agenda Pertemuan. Agar pertemuan tim dapat berjalan lancar dan jelas topik yang akan dibahas, maka setiap anggota tim harus memiliki agenda pertemuan yang akan didiskusikan bersama pada setiap pertemuan. Jika tidak, maka pertemuan tim akan menjadi tak tentu arah atau bahkan tidak ada bahan yang akan didiskusikan. Pada akhir pertemuan, anggota tim merumuskan agenda pertemuan yang akan datang dan bila rencana kegiatan yang akan datang itu telah disepakati, hal itu dituangkan ke dalam lembar agenda pertemuan yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap anggota dapat selalu mengecek rencana agenda pertemuan berikutnya sehingga tiap dapat menyiapkan diri untuk menentukan apa agenda yang akan dibawa ke dalam pertemuan tim berikutnya. Dengan cara demikian, dapat dihindarkan kemungkinan ketiadaan bahan untuk didiskusikan pada pertemuan berikutnya.
- Evaluasi Pertemuan. Davis dan Miller (1996) menegaskan bahwa untuk memaksimalkan kesempatan belajar dari keterlibatan dalam kegiatan tim, pebelajar mendiskusikan dan mengevaluasi pengalaman-pengalaman kegiatan dalam timnya. Lembar evaluasi pertemuan ini diisi oleh setiap anggota tim pada akhir dari setiap pertemuan. Cara demikian akan dapat membantu memfasilitasi proses maksimalisasi kesempatan belajar bagi setiap anggota tim sekaligus mengevaluasi kinerja tim. Kehadiran anggota tim, penyelesaian tugas setiap anggota, kontribusi setiap anggota dalam diskusi, keterampilan interpersonal, dan faktor-faktor lain yang akan dievaluasi harus dicatat di dalam lembaran evaluasi pertemuan tersebut. Cara demikian dapat juga digunakan sebagai evaluasi sejawat dan sekaligus evaluasi-diri para anggota tim. Dalam pada itu, tim juga dapat menggunakan lembaran evaluasi pertemuan ini untuk menilai kemajuan mereka dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tim.
- Evaluasi akhir keseluruhan kegiatan. Sebagaimana penilaian yang dilakukan pada setiap pertemuan, evaluasi pada akhir keseluruhan kegiatan juga merupakan cara yang sangat efektif bagi pebelajar untuk belajar dari pengalaman-pengalaman kegiatan tim secara keseluruhan. Catatan-catatan secara rinci yang telah dibuat pada lembaran evaluasi setiap pertemuan yang telah lalu akan sangat penting bagi pebelajar untuk dapat melakukan evaluasi sejawat dan evaluasi diri pada akhir keseluruhan kegiatan secara akurat dan teruji berdasarkan bukti-bukti yang kuat
Peranan evaluasi sejawat dan evaluasi diri untuk menilai kegiatan tim
masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Beberapa peneliti dan ahli
pendidikan berkeyakinan bahwa konsep bekerja secara tim mengandung makna bahwa
keseluruhan tim harus berbagi nilai secara sama. Namun, sebagian yang lain
berpendapat bahwa pendekatan seperti itu dapat menyebabkan sebagian anggota tim
kurang dapat bertanggungjawab terhadap keseluruhan kegiatan timnya karena
merasa akhirnya akan mendapatkan nilai yang sama dengan anggota lain yang aktif
dan penuh tanggungjawab (Kagan, 1995; Holt, 1997). Untuk mengatasi isu ini,
diperlukan kearifan pembelajar; bahkan banyak ahli pendidikan yang bersikeras
agar masukan-masukan dari pebelajar tetap harus dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan.
5. Domain Kemampuan Berkolaborasi
Kemampuan berkolaborasi bukan warisan, tetapi sesuatu yang dapat
dipelajari. Kemampuan berkolaborasi dapat dikembangkan melalui
kegiatan-kegiatan seperti observasi dan mengerjakan proyek tertentu. Ada empat
domain kemampuan berkolaborasi yang dibutuhkan pebelajar dalam memecahkan suatu
masalah, yakni (1) kemampuan membentuk tim, (2) bekerja /belajar secara
kolaborasi, (3) melaksanakan pemecahan masalah secara kolaborasi, dan (4)
mengatur perbedaan dalam tim (Hill & Tim, 1993). Berikut diuraikan keempat
kemampuan tersebut
a. Kemampuan Membentuk Tim
Pada umumnya para pebelajar sangat mudah bekerja dalam tim, apalagi bila
anggota tim tersebut merupakan teman-teman dekatnya. Namun demikian,
kadang-kadang di antara mereka sering terjadi konflik yang berkepanjangan dalam
membentuk tim kolaboratif. Konflik terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan
pandangan, pola pikir, latar belakang, status, tujuan dan sebagainya. Dalam
pembelajaran, perbedaan tersebut perlu diakomodasi (Slavin, 1997) karena amat
penting dalam membangun perdamaian.
Ada beberapa keuntungan dalam tim yang anggotanya berlatar belakang
beragam. Keuntungan tersebut, di antaranya adalah mereka akan memperoleh
sesuatu yang lebih dari pebelajar yang lainnya, dengan jenis kelamin yang
berbeda, latar belakang yang berbeda, dan kemampuan yang berbeda pula. Tiap
pebelajar memiliki kelebihan tertentu, yang mungkin tidak dimiliki oleh
pebelajar yang lainnya. Menurut Hill & Tim ( 1993) beberapa kemampuan
pebelajar yang kemungkinan diperlukan pada tahap pembentukan tim, yakni (1)
memberikan ruang bagi orang lain, (2) membuat pasangan/lingkaran, (3) melakukan
kontak mata, (4) tetap berada ditimnya, (5) menggunakan suara lembut/pelan, (6)
menggunakan nama-nama orang, (7) tidak putus asa/cepat menyerah, (8)
bergiliran, (9) menggunakan pikiran sendiri/tidak menggunakan tangan orang
lain, (10) membentuk kelompok tanpa mengganggu orang lain, (11) mengijinkan
teman lain untuk berbicara, dan (12) mendengarkan secara aktif
b. Kemampuan Bekerja/Belajar dalam Tim
Setelah membentuk tim, ada beberapa cara untuk meningkatkan kinerja tim,
yakni (1) membuat tugas dan (2) membentuk organisasi tim, misalnya ketua,
sekretaris, yang mengerjakan tugas 1, tugas 2, dan seterusnya. Cara itu tepat
untuk menjadikan tim agar lebih bisa mandiri, efektif, dan efisien. Adanya
pemimpin atau juru bicara dalam suatu tim akan memberikan keuntungan dalam
menyelesaikan berbagai tugas/masalah. Setiap peran di dalam tim memacu kinerja
menjadi lebih efektif dan efisien (Hill & Tim, 1993). Peran-peran tersebut
mencakup (1) mengamati (2) mencatat, (3) bertanya, (4) meringkas, (5) mendorong
untuk berkontribusi, (6) memberikan penjelasan lebih lanjut, (7) mengoranisasikan
penyelesaian, dan (8) pengaturan waktu.
c. Kemampuan Memecahkan Masalah dalam Tim
Ada beberapa kemampuan yang perlu dimiliki oleh pebelajar agar dapat
bekerja secara efektif dalam tim untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan
mendaftar ide/gagasan dan alternatif pemecahan masalah dapat diterapkan dalam
memulai diskusi. Mereka dapat melanjutkan menulis berdasarkan kesepakatan
diantara mereka serta dapat diulang-ulang secara terus menerus sampai tahap
akhir. Kemampuan membangun perdebatan tentang penyelesaian alternatif
pemecahan, kemudian menyetujui satu pemecahan masalah adalah bagian terpenting
dari tim pemecah masalah. Ketika disibukkan dalam pemecahan masalah, pebelajar
dapat menjelaskan ide-ide atau gagasan mereka atau posisi mereka. Diskusi ini
merangsang berpikir dan meningkatkan belajar (Hill & Tim, 1993).
d. Kemampuan mengatur perbedaan dalam tim
Tiap individu pebelajar hakekatnya berbeda. Perbedaan itu di antaranya
kelihatan dari aspek (1) perkembangan intelektual, beberapa pebelajar dapat
belajar lebih cepat dan lebih abstrak dari pada yang lain, (2) kemampuan
berbahasa, beberapa pebelajar dapat lebih mudah mempelajari bahan pembelajaran
yang bersifat verbal dan disajikan secara verbal pula, (3) latar belakang
pengalaman, beberapa pebelajar lebih mudah belajar bahan-bahan pembelajaran
yang ada hubungannya dengan pengalaman masa lalunya, (4) cara dan gaya belajar, beberapa
pebelajar lebih mudah menyesuaikan diri dengan kegiatan pembelajaran dan alat
pembelajaran yang dipergunakan dari pada pebelajar yang lain, (5) bakat dan
minat, beberapa pebelajar lebih bergairah dan tidak menemui kesulitan mengikuti
beberapa mata pelajaran dibanding dengan teman-teman lainnya, dan (6)
kepribadian, kepribadian ini menyebabkan pebelajar berbeda-beda reaksi dan
tanggapannya terhadap tingkah laku/ sikap dan cara pengajar.
Untuk mengatur perbedaan tersebut diperlukan kemampuan tertentu yang
sangat penting baik pada saat mengikuti kegiatan pembelajaran maupun untuk masa
depannya. Melihat masalah dari sudut berbeda, belajar berorganisasi, dan
menjadi penengah ketika konflik memanas adalah kemampuan amat berharga bagi
kehidupan seseorang sehari-hari dan masa depan. ( Hill & Tim, 1993).
Kemampuan yang diperlukan untuk mengatur perbedaan itu diantaranya: (1)
mengatur posisi, (2) melihat masalah dari sudut pandang lainya, (3) negosiasi,
(4) memediasi, dan (5) menentukan kesepakatan
6. Mendesain dan Mengembangkan Pembelajaran Kolaborasi
Salah satu model pengembangan pembelajaran yang relevan untuk mendesain
dan mengembangkan pembelajaran kolaborasi adalah adalah model Constructivist
Instructional Design (C-ID) dari Willis (1995; 2000). C-ID adalah
suatu model pengembangan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dengan
pola kerja R2D2 (Reflective, Recursive, Design, andDevelopment).
Struktur model C-ID itu terdiri dari 4 tahap, yakni (1) difine,
(2) design, (3) development, dan (4) dissemination.
Pengembangan model pembelajaran yang berpijak pada pandangan
konstruktivisme berbeda dengan pandangan behaviorisme (misalnya model Dick dan
Carey). Model pengembangan pembelajaran yang konstruktivis memiliki beberapa
karakteristik, diantaranya (1) proses pengembangan pembelajaran bersifat recursive,
non-linier, dan tidak ada kepastian(chaos),
(2) desain bersifat reflektif dan kolaboratif, (3) tujuan muncul dari pekerjaan
desain dan pengembangan, (4) pembelajaran menekankan pada belajar dalam konteks
yang bermakna, (5) evaluasi formatif menentukan, dan (6) data subyektif lebih
bernilai. Berikut disajikan secara rinci pengembangan model pembelajaran yang
berpijak pada C-ID.
- Proses ID bersifat recursive, non-linier, dan kadang-kadang semrawut (chaos). Pengembangan bersifat recursive, yakni berpijak pada masalah nyata pembelajaran dan masalah itu terus berkembang yang kini menjadi fokus perhatian para pembelajar, pebelajar, dan para pengelola pembelajaran. Masalah itu bersifat konteks, artinya terjadi di kampus atau sekolah itu saja yang penyelesainya juga kontekstual. Proses pengembangan tidak linier, tidak berurutan, pemecahannya tidak cukup melibatkan satu keahlian saja, dan tidak beorientasi pada pencapaian tujuan tertentu yang terikat dalam kurikulum.
- Proses desain dan pengembangan terus berkembang, reflektif, dan kolaboratif. Kegiatan pengembangan dimulai dari desain yang kurang jelas, namun terus dilakukan kegiatan pengembangan sambil terus melakukan perbaikan. Pengembangan bersifat kolaboratif, artinya melibatkan beberapa pihak, termasuk pengguna produk hasil pengembangan. Pengembangan seperti itu, dengan pengembangan pembelajaran yang behavioristik. Dalam pengembangan pembelajaran yang behavioristik kegiatan desain dimulai dari perencanaan yang sistematik, rapi, dan jelas, termasuk tujuan pembelajarannya.
- Tujuan pembelajaran muncul dari desain dan pengembangan kinerja. Tujuan pengembangan bukan pijakan dalam melakukan proses pengembangan. Selama proses pengembangan secara kolaboratif, tujuan muncul dan terkesan “kasar” atau kurang jelas , kemudian menjadi lebih jelas. Dalam pengembangan pembelajaran dengan pijakan behavioristik, rumusan tujuan pembelajaran yang opeasional sangat penting dan menjadi acuan dalam pengembangan produk pembelajaran.
- Ahli ID umum tidak perlu ada. Dalam pandangan konstruktivisme, generalis ahli ID yang dapat bekerja dengan bidang keahlian dari berbagai disiplin adalah mitos. Pengembang perlu lebih dulu memahami “proses pengembangan” pembelajaran sebelum melakukan kegiatan pengembangan pembelajaran. Jika pengembang melibatkan tenaga ahli, maka diutamakan mereka yang memahami hal-hal berikut, yakni (1) menguasai isi bidang studi, (2) memahami kontek pengembangan, (3) memiliki keterampilan dalam mendesain dan mengembangkan pembelajaran, dan (4) memiliki kewenangan untuk mengabil keputusan dalam bidang pembelajaran. Dalam pengembangan pembelajaran yang berpijak pada teori behaviristik, ahli yang memiliki pengetahuan khusus, sangat diperlukan untuk mengembangan pembelajaran.
- Pembelajaran lebih ditekankan pada kontek dan pemahamam individu yang lebih bermakna (meaningful). Agar pebelajar dapat memahami isi lebih bermakna, maka disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada masalah. Pebelajar difasilitasi untuk dapat mengakses berbagai informasi (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) dalam rangka menyelesaikan masalah. Penyelesaian masalah tersebut menggunakan berbagai sumber daya informasi, misalnya media cetak, media audio, media audio visual, multimedia, internet, dan teknologi terpadu. Hal ini berbeda dengan pengembangan pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, pengembangan pembelajaran diarahkan pada penyelesaian tugas atau penguasaan pengetahuan secara sistematik (bagian demi bagian secara terpisah). Teori Behavioristik menekankan pada subskill yang diajarkan.
- Menekankan pada penilian formatif. Dalam pembelajaran yang berpijak pada teori konstruktivistik, penilaian formatif dianggap penting. Penilaian itu untuk mengumpulkan sejumlah informasi dalam rangka perbaikan kualitas proses dan hasil pembelajaran. Dalam pembelajaran yang behaviristik, yang dipandang penting adalah penilaian sumatif, karena kegiatan pembelajaran lebih diarahkan ke penguasaan pengetahuan yang telah diajarkan.
- Data kualitatif mungkin lebih berharga. Penganut teori konstruktvistik meyakini bahwa sesuatu dapat ditunjukkan atau diamati, tetapi tidak selalu dapat diukur. Untuk itu disarankan menggunakan penilaian authentik, portofolio, kinerja, proyek, produk, dan ethnografi. Selama proses pembelajaran, pengembang disarankan menggunakan lembar observasi, melakukan wawancara, fokus group, kritik ahli, dan sebagainya. Dalam pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, lebih banyak menggunakan data kuantitatif, misalnya menggunakan instrumen penilaian melalui ujian pilihan ganda. Data kuantitatif digunakan untuk mengukur kebehasilan pembelajaran dengan mengacu pada rumusan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Ketercapaian tujuan itu diukur dengan menggunakan pretes dan postes.
Prosedur pengembangan model pembelajaran dengan model C-ID terdiri 5
tahap, yakni (1) tahap identifikasi, (2) tahap desan, (3) tahap pengembangan,
(4) tahap uji coba, dan (5) tahap desimininasi. Berikut diuraikan secara
singkat kelima tapan tersebut secara berturut-turut (Mustaji, 2009)
Pada tahap identifikasi ada 3
kegiatan yang dilakukan, yakni (1) melakukan kajian teoritis melalui studi
pustaka atau literatur, (2) melakukan kajian empiris melalui observasi di
kelas, dan (3) menuliskan kondisi nyata di kelas/lapangan berdasarkan kegiatan
point 1 dan 2.
Pada tahap desain, ada 4 kegiatan yang
dilakukan, yakni (1) mengidentifikasi kemampuan awal, (2) merumuskan tujuan
pembelajaran, (3) mengorganisasikan isi bidang studi, dan (4) melakukan studi
kelayakan. Pada tahap desain ini, Willis (2000) mengajurkan agar pengembang
membentuk tim partisipasi (team partisipatory). Tugas tim
sedikitnya ada 3 yaitu (1) menciptakan dan mendukung tim pengembang, (2)
melakukan pemecahan masalah secara progresif, dan (3) mengembangkan pronesis
atau pemahaman konstekstual.
Pada tahap pengembangan,
dilakukan penerjemahan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik/produk (Seels
& Richey, 1994). Produk pengembangan itu berupa prototipa perangkat
pembelajaran yang terdiri dari silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran,
bahan pembelajaran, lembar tugas, dan lembar penilaian pembelajaran
Tahap uji coba terdiri dari 3 tahapan, yakni (1) uji individu,
(2) uji kelompok, dan (3) uji lapangan. Ketiga tahap tersebut selalu diawali
dengan review oleh ahli, yakni (1) ahli pembelajaran, (2) ahli isi bidang
studi, dan (3) ahli media pembelajaran. Ahli isi bidang studi, diharapkan dapat
memberikan masukan tentang kebenaran isi, kekinian, dan organisasi isi bidang
studi.
Pada tahap desiminasi dilakukan penyusunan
laporan hasil kegiatan pengembangan. Laporan tersebut diseminarkan yang
dihadiri oleh para ahli isi bidang studi sosiologi, teknisi pembelajaran,
teknolog pembelajaran, teknolog pembelajaran, dan ahli penilaian pembelajaran,
dan para pengambil kebijakan dalam bidang pembelajaran. Kegiatan lain adalah
menyajikan hasil pengembangan dalam suatu jurnal pendidikan.
Namun perlu ditegaskan di sini bahwa produk perangkat pembelajaran yang
dikembangkan, kemungkinan hanya sesuai diimplementasikan pada konteks lokal,
dimana latar pengembangan ini didesain dan dikembangkan. Lokal dalam pengertian
kontekstual (ruang, waktu, kasus, masalah, isi bidang studi), sehingga produk
model hasil pengembangan tidak dapat digeneralisasikan untuk semua latar. Yang
penting produk model yang dikembangkan itu (1) didasarkan pada masalah dalam
pembelajaran, (2) menggunakan hasil penelitian yang relevan untuk mengembangkan
produk, (3) melakukan uji coba produk dan uji lapangan, (4) melakukan revisi
sesuai kriteria dan tujuan yang telah ditentukan--tidak menguji teori, namun
mengembangkan dan menyempurnakan produk, dan (5) produk yang dihasilkan
bermanfaat untuk perbaikan/peningkatan kualitas pembelajaran
7. Prosedur Pembelajaran Kolaborasi
Mata kuliah yang diselenggarakan dengan menggunakan CBL dalam
pelaksanaannya mengikuti mengikuti 5 tahap, yakni (1) konsep dasar, (2)
pendefinisian masalah, (3) pembelajaran mandiri atau kolaborasi, (4) pertukaran
pengetahuan, dan (5) penilaian (Barrow,1980; Sudarman, 2007).
a.Konsep Dasar (Basic
Concep)
Dalam CBL, jika dipandang perlu pembelajar memberikan konsep dasar,
petunjuk, referensi, atau link dan skill yang
diperlukan dalam pembelajaran. Hal itu dimaksudkan agar pebelajar lebih cepat
masuk dalam atmosfir pembelajaran dan mendapatkan “peta” tentang arah dan
tujuan pembelajaran. Lebih dari itu, untuk memastikan pebelajar mendapatkan
kunci utama materi pembelajaran. Konsep yang diberikan tidak perlu detail,
diutamakan dalam bentuk garis besar saja sehingga pebelajar dapat mengembangkan
secara mandiri dan secara mendalam.
Kegiatan pada tahap ini tidak dalam bentuk paparan konsep dasar materi
oleh pembelajar, melainkan kegiatan penggalian teori pendukung yang dibutuhkan
untuk mendasari pemahaman dalam mata kuliah. Untuk memastikan pebelajar bisa
mengikuti tahap ini, dianjurkan dalam pembelajaran dengan CBL menggunakan
lembar tugas atau petunjuk pembelajaran.
b. Pendefinisian Masalah
Pada tahap ini, pembelajar menyampaikan permasalahan dalam tim belajar
yang memungkinkan mereka melakukan berbagai aktivitas belajar. Ada 3 hal yang
penting dilakukan pada tahap ini. Pertama, tim melakukan brainstorming.
Dengan brainstorming, setiap anggota tim belajar dapat mengungkapkan pendapat,
ide, dan tanggapan terhadap permasalahan secara bebas sehingga akan mmuncul
berbagai macam alternative pendapat. Setiap anggota tim memiliki hak yang sama
dalam memberikan dan menyampaikan ide dalam diskusi serta mendukumentasikan
secara tertulis pendapatnya dalam kertas kerja. Selain itu, setiap kelompok
mencari istilah yang kurang dikenal dalam scenario/masalah tersebut dan
berusaha mendiskusikan maksud dan artinya. Jika ada pebelajar yang mengetahui artinya,
segera menjelaskan kepada teman-temannya. Jika ada bagian yang belum dapat
dipecahkan dalam tim tersebut, ditulis isu dalam permasalahan tim.
Kedua, melakukan seleksi alternative untuk memilih pendapat yang lebih
focus. Ketiga, menentukan permasalahan dan melakukan pembagian tugas dalam tim
untuk mencari referensi penyelesaian dari isu permasalahan yang didapat.
Pembelajar menvalidasi pilihan-pilihan yang diambil pebelajar. Jika ada tujuan
pembelajaran yang belum disinggung oleh pebelajar, pembelajar mengusulkannya
dengan memberikan alasan-alasan yang cukup.
Pada akhir tahap ini pebelajar diharapkan memiliki gambaran yang jelas
tentang apa saja yang mereka ketahui, apa saja yang mereka tidak ketahui, dan
pengetahuan apa saja yang diperlukan untuk “menjembataninya”.
c. Pembelajaran Mandiri dan atau Kolaborasi
Setelah mengetahui tugasnya, setiap anggota tim secara mandiri dan atau
kolaborasi mencari berbagai sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang
diinvestigasi. Sumber yang dimaksud bisa dalam bentuk artikel tertulis yang
tersimpan dalam perpustakaan, halaman web, atau bahkan pakar dalam bidang
yang relevan. Kegiatan investigasi memiliki 2 tujuan, yakni (1) agar pebelajar
mencari informasi dan mengembangkan pemahaman yang relevan dengan permasalahan
yang telah didiskusikan di kelas, dan (2) informasi dikumpulkan dengan satu
tujuan yaitu dipresentasikan di kelas dan informasi tersebut haruslah relevan
dan dapat dipahami.
Di luar pertemuan dengan pembelajar, pebelajar bebas untuk mengadakan
pertemuan dan melakukan berbagai kegiatan. Dalam pertemuan tersebut pebelajar
saling bertukar informasi yang telah dikumpulkannya dan pengetahuan yang telah
mereka bangun. Pebelajar juga harus mengorganisasikan informasi yang
didiskusikan sehingga anggota tim lain dapat memahami relevansi terhadap
permasalahan yang dihadapi.
Pada tahap ini, proses pembelajaran dapat dimulai bila seleksi
alternatif dan pembagian tugas sudah dilakukan. Setiap pebelajar dapat
melakukan pendalaman materi sesuai dengan pembagian tugas dalam tim
masing-masing. Pendalaman materi dapat dilakukan melelaui referensi (buku,
jurnal, majalah, browsing internet, dan informasi dari ahli).
d. Pertukaran Pengetahuan
Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam
langkah pembelajaran mandiri dan atau kolaborasi, selanjutnya pada pertemuan
berikutnya pebelajar berdiskusi dalam timnya untuk mengklarifikasi capaiannya
dan merumuskan solusi dari permasalahan tim. Pertukaran pengetahuan ini dapat
dilakukan dengan cara pebelajar berkumpul sesuai dengan tim dan pembelajar atau
asisten pembelajarnya.
Tiap tim menetukan ketua diskusi dan tiap anggota tim menyampaikan hasil
kerja/belajarnya dengan cara mengintegrasikan hasil belajarnya untuk
mendapatkan kesimpulan. Langkah selanjutnya presentasi hasil dalam pleno (kelas
besar) dengan mengakomodasi masukan dari pleno, menentukan kesimpulan akhir,
dan dukumentasi akhir.
e. Penilaian
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek, yakni pengetahuan,
keterampilan, dan sikap. Penilaian terhadap hasil konstruksi pengetahuan dapat
dilakukan dengan ujian, dukumen, atau laporan. Penilaian terhadap keterampilan
dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran baik software,
hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian.
Sedangkan penilaian terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan soft skill,
yaitu keaktifan dan partisipasi dalam tim, keterampilan bekerja secara
kolaborasi, dan kehadiran dalam perkuliahan. Bobot ketiga aspek tersebut
ditentukan oleh pembelajar yang bersangkutan
Untuk mengetahui keefektifan pembelajaran dengan menggunakan CBL perlu
dilakukan evaluasi. Evaluasi itu untuk mendapatkan 2 informasi penting, yakni
(1) tingkat keberhasilan pelaksanaan pembelajaran, meliputi keluaran
pembelajaran, manfaat bagi pebelajar, relevansinya dengan kemampuan lulusan,
dan (2) kendala atau masalah yang timbul, meliputi fasilitas penunjang
pembelajaran dengan PBM, resistensi pembelajar, resistensi pebelajar, dan
informasi yang diperoleh dilakukan untuk melakukan perbaikan dari sisi
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran.
8. Hasil Pengujian Model Pembelajaran Kolaborasi
Gokhale (1995), menemukan bahwa kelompok pebelajar yang belajar dengan
pola belajar kolaborasi lebih tinggi prestasi belajarnya dibanding kelompok
pebelajar yang belajar secara kompetitif. Berdasarkan analisisstatistik
menunjukkan bahwa para pebelajar yang belajar secara kolaboratif memiliki
kemampuan yang baik dalam hal “berpikir kritis” dibanding mereka yang belajar
secara kompetitif. Ini sesuai dengan teori pembelajaran yang diusulkan oleh
penganjur pembelajaran kolaboratif.
Selanjutnya ia menyarankan agar pembelajaran kolaboratif lebih efektif,
pembelajar harus memandang pembelajaran sebagai proses untuk mengembangkan dan
meningkatkan kemampuan pebelajar untuk belajar. Peran Pembelajar bukanlah untuk
memancarkan informasi, tetapi untuk bertindak sebagai suatu fasilitator untuk
belajar. Belajar adalah kegiatan menciptakan, mengelola pengalaman belajar dan
merangsang pemikiran pebelajar melalui permasalahan dunia nyata.
Saran lain yang diajukan Gokhale (1995), kepada para peneliti
pembelajaran berikutnya agar melakukan penelitian pembelajaran yang menyelidiki
efek dari variabel yang berbeda seperti komposisi kelompok, heterogen melawan
homogen, pemilihan kelompok dan ukuran, struktur dari pembelajaran kolaboratif,
jumlah intervensi pengajar di dalam proses pembelajaran, jenis kelamin dan
etnis, dan gaya belajar yang berbeda.
Arnseth dan Ludvigsen (2000) dalam penelitiannya tentang komputer
pembelajaran menghasilkan temuan bahwa peralatan teknologi modern (komputer)
mempengaruhi pemikiran, pemecahan masalah, pemahaman konseptual, dan penerapan
strategi pemecahan masalah, dan proses kolaborasi dibandingkan dengan
penggunaan teknologi peradaban kuno. Ia menyarankan agar penelitian yang akan
datang menguji bagaimana teknologi benar-benar menonjolkan aktivitas sosial,
bagaimana orang bisa “menjadi lebih sosial” dengan menggunakan teknologi
modern, karena ada asumsi bahwa “teknologi dehumanisasi” atau menjadikan
manusia lebih individual. Topik psikologis, seperti persepsi, pemecahan
masalah, ingatan dan pemikiran perlu dikaji dengan menggunakan pendekatan
dengan tindakan sosial, dan pengaturan interaksi sosial.
Kedua ilmuwan pembelajaran ini juga menemukan bahwa penggunakaan teknologi
informasi dapat meningkatkan aktivitas kolaborasi secara terus menerus. Para
pebelajar ‘dapat belajar’ secara jarah jauh atau telelearning
untuk merundingkan struktur masalah, proses pemecahan masalah, pemahaman tugas,
dan perbedaan peran mereka dalam tim. Proses kolaborasi dapat membangun bingkai
pemahaman atas masalah, kejelasan tugas tim dalam memecahkan masalah,
meningkatkan kemampuan interaksi sosial, dan dapat meenghasilkan kerja yang
lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Mustaji (2009) menemukan bahwa penggunaan pembelajaran kolaborasi pada
mata kuliah masalah sosial dapat meningkatkan hasil belajar. Hal ini bisa
dilihat dari beberapa aspek, diantaranya (1) hasil belajar pebelajar yang
mencapai ketuntasan 82.3%, (2) pebelajar lebih bergairah untuk bekerja/belajar,
(3) produktifitas pebelajar dilihat dari sisi portofolio pembelajaran lebih
meningkat, (4) tugas-tugas proyek pemecahan masalah dapat dilaksanakan secara
optimal, (5) pebelajar memiliki sikap yang positif terhadap proses
pembelajaran, materi, pembelajar, dan norma yang berkaitan dengan materi
pembelajaran, (6) dan pebelajar lebih memiliki keterampilan berkolaborasi.
Penggunaan model pembelajaran kolaborasi dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran. Hal ini bisa dilihat dari tanggapan pebelajar yang menyatakan
bahwa penggunanan pembelajaran kolaborasi dapat menciptakan terhadap suasana
pembelajaran yang interaktif, pebelajar lebih aktif untuk belajar/bekerja, dan
menyenangkan. Peran pembelajar sebagai fasilitator, motivator, konsultan pembelajaran,
dan mitra pebelajar. Pebelajar dapat memilih tujuan belajar, mengkonstruksi
pengetahuan, kesungguhan untuk belajar, dan belajar berkolaborasi. Ini
menunjukan bahwa pembelajaran kolaborasi adalah suatu model pembelajaran yang
berpusat pada pebelajar.
sumber :
"http://pasca.tp.ac.id/site/desain-pembelajaran-dengan-menggunakan-model-pembelajaran-kolaborasi-untuk-meningkatkan-kemampuan-berkolaborasi"
tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas :
mata kuliah : Pembelajaran PKn di SD
Dosen : Dirgantara Wicaksono, M.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar